Resiko Game Slot Bohongan
Tempat itu ramai pengunjung, musik berdentum keras, membuat tubuh orang yang berkunjung ke sana hendak menari mengikuti irama. Beberapa orang memilih berkunjung ke sana untuk menghilangkan penat, mencari hiburan, mengalihkan pikiran, dan beberapa orang lagi menjadikan tempat itu sebagai pelarian dari kenyataan hidup yang begitu menyakitkan. Berusaha menyembuhkan luka dengan keramaian yang hanya membuat mereka merasa hampa. “Siapa di sini yang ingin mencicipi seorang perawan?” Teriakan disertai tawa itu membuat semua mata mengarahkan pandangan ke sumber suara. Seorang wanita muda menunduk di samping pria yang sibuk berteriak bagaikan seorang marketing yang tengah menawarkan barang jualannya. Pria berambut gondrong dengan mata memerah, khas orang mabuk itu telah membuat wanita di sampingnya bergetar ketakutan. Wanita itu pun menggeliatkan tangan, berusaha melepaskan cengkraman tangan Si pria paruh baya, namun tampak tak berhasil. Setiap ia melakukannya, maka Si pria akan semakin menguatkan cengkraman tangannya. Si wanita pada akhirnya hanya bisa meringis kesakitan. “Aku pastikan wanita ini masih perawan. Ada harga, ada kualitas, jadi jangan takut tertipu. Kalian bisa membayar murah untuk menidurinya.” Si pria mabuk itu tertawa mengerikan, sedang Si wanita bergidik ngeri. Tubuhnya pun terlihat bergetar karena takut. “Berapa kau mau menjualnya?” Seorang pria tua berperut buncit itu mulai tampak berminat. Apalagi saat wanita itu mengadahkan wajah, semua orang bisa melihat kecantikannnya walau di bawah cahaya remang tempat itu. “Jual saja padaku. Aku akan membayar lebih,” Seorang pria lainnya mulai berjalan mendekat. Ia tak ingin ada yang mendapatkan wanita yang cantik dan menggairahkan itu. “Aku yang lebih dulu menawarnya!” Pria buncit tadi mulai protes dan mendorong pria yang tadi berjalan mendahuluinya. Kedua orang itu tampak berdebat, menghilangkan minat Si lelaki penjual untuk memberikan barang dagangannya pada mereka. “Kalau kalian nggak berhenti berantem. Aku berikan pada yang lain. Siapa ada yang mau membelinya. Aku hanya melayani pembeli yang serius dan punya uang tentunya.” Tawa keras pria itu, membuat Si wanita mulai meneteskan air mata. Rasa takut mulai menjalar ke penjuru hatinya, namun tenaganya kalah dari pria itu, membuatnya tak bisa kabur begitu saja. Wanita itu mengadahkan wajah, menatap sekeliling, mencoba mencari jalan keluar dan hendak menyelamatkan dirinya sendiri. Di dunia ini tak ada satupun orang baik, itulah yang dipercayanya. Sehingga ia tak harus menjadi seorang putri yang menunggu pangeran berkuda putih untuk menyelamatkannya dari cengkraman monster yang mengerikan. Ia harus segera lari. Mata wanita itu bertemu dengan sepasang mata elang yang menatapnya tajam. Tak seperti mata para lelaki berhidung belang di ruangan itu, pria yang duduk di dekat bar menatapnya dengan tatapan dingin, terlihat tak berminat dengan perlelangan manusia yang dilakukan oleh pria paruh baya di sampingnya. Wanita itu ingin meminta tolong, namun diurungkannya karena ia yakin jika seorang yang memiliki hubungan darah saja bisa menjualnya, maka tak mungkin ada seorang asing yang mau menyelamatkannya. Hakikatnya, para malaikat hanya ada di dalam surga, terletak nan jauh di atas langit sana. Oleh karena itu, ia tahu benar jika tak mungkin ada yang mau menolongnya. Mata mereka masih saling berpandangan, terkunci. Ketakutan terlihat jelas di mata si wanita, namun pria dingin itu terlihat tak peduli, seakan menikmati rasa takut yang tak bisa disembunyikan Si wanita. Pria itu tersenyum miring, tanpa aba-aba pria dengan tatapan elang itu berjalan ke arah mereka. Semakin dekat, hingga tanpa sadar membuat Si wanita menahan nafas selama beberapa detik. Menunggu cemas akan apa yang akan dilakukan oleh pria itu. “Aku yang akan membelinya. Berapa harga yang kau tawarkan?” Suara dalam pria yang kini sudah berdiri di hadapan mereka membuat Si wanita cukup terperanjat, tak menyangka pria berwajah dingin itu ikut menawar harga atas tubuhnya. Pria di samping wanita itu tertawa keras dan menatap lelaki muda di hadapannya dengan tatapan mengejek. “Anak muda, ini bukanlah tempat bermain. Ini adalah tempat di mana para pria dewasa mencari mainan mereka. Kembalilah dalam beberapa tahun lagi.” Pria yang Si wanita perkirakan berumur tiga puluhan itu tersenyum miring, merasa tak terima dihina oleh lelaki di hadapannya. “Tampaknya, kaulah yang mau main-main di sini. Aku sangat serius untuk membeli wanita itu. Berapa harga yang kau tawarkan untuk tubuhnya?” Si wanita bergidik ngeri mendengarkan pembicaraan itu, seakan-akan tubuhnya adalah barang yang tak begitu berharga dan bisa diperjual belikan seenaknya. Mengapa tak ada seorangpun yang menanyakan kesediaannya sebagai pemilik tubuhnya sendiri? Air mata wanita itu mengalir semakin deras. Otaknya terus mencari cara untuk pergi dari tempat terkutuk itu. “Oh ya? Anak muda sepertimu punya uang?” Si pria mengelus-elus dagunya, bersikap seakan tengah berpikir keras, “Bagaimana dengan dua puluh juta? Apa kau ada uang sebanyak itu? Atau kau harus menjual ginjalmu dulu untuk mendapatkan uang itu? Caramu berpakaian memang rapi, dengan jas hitam yang tampak cocok dengan tubuhmu, tapi aku nggak yakin jika pria muda sepertimu mempunyai uang sebanyak itu.” Pria muda itu tertawa. “Hanya segitu harga keperawanannya? Kau bilang, harga segitu akan membuatku menjual ginjalku? Asal kau tahu, ginjalku jauh lebih mahal daripada jumlah tak seberapa yang kau sebutkan!” Si pria mengeraskan rahangnya. “Wah … wah … tampaknya aku tengah berurusan dengan seorang anak mami yang kaya raya. Jika menurutmu harga segitu nggak berarti, berikan uangnya dan kau bisa menikmati tubuh wanita ini sepuasmu. Dia akan segera menjadi milikmu. Baiknya kita kurangi pembicaraan dan langsung menyelesaikan transaksi kita untuk mengetahui keseriusanmu,” pria paruh baya itu menautkan kedua alis, senyum licik terukir di bibirnya. “Bagaimana aku bisa membayarnya?” Pria paruh baya itu tertawa senang. Tampaknya pria muda di hadapannya bersungguh-sungguh ingin membeli wanita yang dijualnya. Ia butuh uang cepat dan tak mungkin mengharapkan orang lain terus memperebutkan wanita itu dan membuat waktunya terbuang sia-sia. Ia harus segera menyerahkan Si wanita, menerima uang, dan membuang wanita itu. “Baiklah, kau bisa transfer ke rekeningku. Setelah uang masuk, kau bisa membawanya.” Si pria muda menanyakan nomer rekening yang diberi langsung oleh pria paruh baya tadi. Tak menunggu lama, sejumlah uang yang mereka sepakati telah masuk ke dalam rekening Si penjual. Pria itu terbahak, merasa sangat senang. Ia pun mendorong wanita di sampingnya tadi pada pria di depannya. “Nikmati malam panjangmu bersamanya,” ucap pria tadi sembari tertawa keras dan berlalu meninggalkan tempat terkutuk itu. Ia memiliki cukup uang untuk melanjutkan hobi berjudinya berkat wanita yang dijualnya tadi. Sungguh, malam yang sangat beruntung. “Tolong … lepaskan aku,” ucap wanita itu sembari terisak, berharap ada sedikit belas kasih untuk dirinya yang malang. Tatapan mata penuh ketakutan dan permohonan itu seakan tak berarti apa pun untuk Si pria. Wajahnya masih sama dingin, tatapan setajam elangnya tak menunjukkan iba sedikitpun, membuat Si wanita yakin jika tak ada jalan keluar lagi. “Siapa namamu?” Pria itu mendekatkan bibirnya pada telinga Si wanita, “Wanita yang telah kubeli. Siapa namamu?” Lanjutnya berbisik datar pada telinga Si wanita. “A … A … manda …” Wanita itu terbata. Ketakutan telah mendominasi hatinya. Hari ini, tak ada malaikat yang diturunkan untuk menyelamatkannya. Semua orang hanya memperlakukannya bak barang. Pria yang telah membelinya itu pun sama saja dengan manusia lain di muka bumi ini. Egois dan tak mau menolong mereka yang memohon pertolongan.
Tempat itu ramai pengunjung, musik berdentum keras, membuat tubuh orang yang berkunjung ke sana hendak menari mengikuti irama. Beberapa orang memilih berkunjung ke sana untuk menghilangkan penat, mencari hiburan, mengalihkan pikiran, dan beberapa orang lagi menjadikan tempat itu sebagai pelarian dari kenyataan hidup yang begitu menyakitkan. Berusaha menyembuhkan luka dengan keramaian yang hanya membuat mereka merasa hampa. “Siapa di sini yang ingin mencicipi seorang perawan?” Teriakan disertai tawa itu membuat semua mata mengarahkan pandangan ke sumber suara. Seorang wanita muda menunduk di samping pria yang sibuk berteriak bagaikan seorang marketing yang tengah menawarkan barang jualannya. Pria berambut gondrong dengan mata memerah, khas orang mabuk itu telah membuat wanita di sampingnya bergetar ketakutan. Wanita itu pun menggeliatkan tangan, berusaha melepaskan cengkraman tangan Si pria paruh baya, namun tampak tak berhasil. Setiap ia melakukannya, maka Si pria akan semakin menguatkan cengkraman tangannya. Si wanita pada akhirnya hanya bisa meringis kesakitan. “Aku pastikan wanita ini masih perawan. Ada harga, ada kualitas, jadi jangan takut tertipu. Kalian bisa membayar murah untuk menidurinya.” Si pria mabuk itu tertawa mengerikan, sedang Si wanita bergidik ngeri. Tubuhnya pun terlihat bergetar karena takut. “Berapa kau mau menjualnya?” Seorang pria tua berperut buncit itu mulai tampak berminat. Apalagi saat wanita itu mengadahkan wajah, semua orang bisa melihat kecantikannnya walau di bawah cahaya remang tempat itu. “Jual saja padaku. Aku akan membayar lebih,” Seorang pria lainnya mulai berjalan mendekat. Ia tak ingin ada yang mendapatkan wanita yang cantik dan menggairahkan itu. “Aku yang lebih dulu menawarnya!” Pria buncit tadi mulai protes dan mendorong pria yang tadi berjalan mendahuluinya. Kedua orang itu tampak berdebat, menghilangkan minat Si lelaki penjual untuk memberikan barang dagangannya pada mereka. “Kalau kalian nggak berhenti berantem. Aku berikan pada yang lain. Siapa ada yang mau membelinya. Aku hanya melayani pembeli yang serius dan punya uang tentunya.” Tawa keras pria itu, membuat Si wanita mulai meneteskan air mata. Rasa takut mulai menjalar ke penjuru hatinya, namun tenaganya kalah dari pria itu, membuatnya tak bisa kabur begitu saja. Wanita itu mengadahkan wajah, menatap sekeliling, mencoba mencari jalan keluar dan hendak menyelamatkan dirinya sendiri. Di dunia ini tak ada satupun orang baik, itulah yang dipercayanya. Sehingga ia tak harus menjadi seorang putri yang menunggu pangeran berkuda putih untuk menyelamatkannya dari cengkraman monster yang mengerikan. Ia harus segera lari. Mata wanita itu bertemu dengan sepasang mata elang yang menatapnya tajam. Tak seperti mata para lelaki berhidung belang di ruangan itu, pria yang duduk di dekat bar menatapnya dengan tatapan dingin, terlihat tak berminat dengan perlelangan manusia yang dilakukan oleh pria paruh baya di sampingnya. Wanita itu ingin meminta tolong, namun diurungkannya karena ia yakin jika seorang yang memiliki hubungan darah saja bisa menjualnya, maka tak mungkin ada seorang asing yang mau menyelamatkannya. Hakikatnya, para malaikat hanya ada di dalam surga, terletak nan jauh di atas langit sana. Oleh karena itu, ia tahu benar jika tak mungkin ada yang mau menolongnya. Mata mereka masih saling berpandangan, terkunci. Ketakutan terlihat jelas di mata si wanita, namun pria dingin itu terlihat tak peduli, seakan menikmati rasa takut yang tak bisa disembunyikan Si wanita. Pria itu tersenyum miring, tanpa aba-aba pria dengan tatapan elang itu berjalan ke arah mereka. Semakin dekat, hingga tanpa sadar membuat Si wanita menahan nafas selama beberapa detik. Menunggu cemas akan apa yang akan dilakukan oleh pria itu. “Aku yang akan membelinya. Berapa harga yang kau tawarkan?” Suara dalam pria yang kini sudah berdiri di hadapan mereka membuat Si wanita cukup terperanjat, tak menyangka pria berwajah dingin itu ikut menawar harga atas tubuhnya. Pria di samping wanita itu tertawa keras dan menatap lelaki muda di hadapannya dengan tatapan mengejek. “Anak muda, ini bukanlah tempat bermain. Ini adalah tempat di mana para pria dewasa mencari mainan mereka. Kembalilah dalam beberapa tahun lagi.” Pria yang Si wanita perkirakan berumur tiga puluhan itu tersenyum miring, merasa tak terima dihina oleh lelaki di hadapannya. “Tampaknya, kaulah yang mau main-main di sini. Aku sangat serius untuk membeli wanita itu. Berapa harga yang kau tawarkan untuk tubuhnya?” Si wanita bergidik ngeri mendengarkan pembicaraan itu, seakan-akan tubuhnya adalah barang yang tak begitu berharga dan bisa diperjual belikan seenaknya. Mengapa tak ada seorangpun yang menanyakan kesediaannya sebagai pemilik tubuhnya sendiri? Air mata wanita itu mengalir semakin deras. Otaknya terus mencari cara untuk pergi dari tempat terkutuk itu. “Oh ya? Anak muda sepertimu punya uang?” Si pria mengelus-elus dagunya, bersikap seakan tengah berpikir keras, “Bagaimana dengan dua puluh juta? Apa kau ada uang sebanyak itu? Atau kau harus menjual ginjalmu dulu untuk mendapatkan uang itu? Caramu berpakaian memang rapi, dengan jas hitam yang tampak cocok dengan tubuhmu, tapi aku nggak yakin jika pria muda sepertimu mempunyai uang sebanyak itu.” Pria muda itu tertawa. “Hanya segitu harga keperawanannya? Kau bilang, harga segitu akan membuatku menjual ginjalku? Asal kau tahu, ginjalku jauh lebih mahal daripada jumlah tak seberapa yang kau sebutkan!” Si pria mengeraskan rahangnya. “Wah … wah … tampaknya aku tengah berurusan dengan seorang anak mami yang kaya raya. Jika menurutmu harga segitu nggak berarti, berikan uangnya dan kau bisa menikmati tubuh wanita ini sepuasmu. Dia akan segera menjadi milikmu. Baiknya kita kurangi pembicaraan dan langsung menyelesaikan transaksi kita untuk mengetahui keseriusanmu,” pria paruh baya itu menautkan kedua alis, senyum licik terukir di bibirnya. “Bagaimana aku bisa membayarnya?” Pria paruh baya itu tertawa senang. Tampaknya pria muda di hadapannya bersungguh-sungguh ingin membeli wanita yang dijualnya. Ia butuh uang cepat dan tak mungkin mengharapkan orang lain terus memperebutkan wanita itu dan membuat waktunya terbuang sia-sia. Ia harus segera menyerahkan Si wanita, menerima uang, dan membuang wanita itu. “Baiklah, kau bisa transfer ke rekeningku. Setelah uang masuk, kau bisa membawanya.” Si pria muda menanyakan nomer rekening yang diberi langsung oleh pria paruh baya tadi. Tak menunggu lama, sejumlah uang yang mereka sepakati telah masuk ke dalam rekening Si penjual. Pria itu terbahak, merasa sangat senang. Ia pun mendorong wanita di sampingnya tadi pada pria di depannya. “Nikmati malam panjangmu bersamanya,” ucap pria tadi sembari tertawa keras dan berlalu meninggalkan tempat terkutuk itu. Ia memiliki cukup uang untuk melanjutkan hobi berjudinya berkat wanita yang dijualnya tadi. Sungguh, malam yang sangat beruntung. “Tolong … lepaskan aku,” ucap wanita itu sembari terisak, berharap ada sedikit belas kasih untuk dirinya yang malang. Tatapan mata penuh ketakutan dan permohonan itu seakan tak berarti apa pun untuk Si pria. Wajahnya masih sama dingin, tatapan setajam elangnya tak menunjukkan iba sedikitpun, membuat Si wanita yakin jika tak ada jalan keluar lagi. “Siapa namamu?” Pria itu mendekatkan bibirnya pada telinga Si wanita, “Wanita yang telah kubeli. Siapa namamu?” Lanjutnya berbisik datar pada telinga Si wanita. “A … A … manda …” Wanita itu terbata. Ketakutan telah mendominasi hatinya. Hari ini, tak ada malaikat yang diturunkan untuk menyelamatkannya. Semua orang hanya memperlakukannya bak barang. Pria yang telah membelinya itu pun sama saja dengan manusia lain di muka bumi ini. Egois dan tak mau menolong mereka yang memohon pertolongan.